Konsistensi Perlindungan Konsumen di Era Globalisasi : Antara Tantangan dan Asa dari Tanah Pasundan

Dalam era globalisasi yang semakin dinamis, perlindungan konsumen seharusnya menjadi salah satu pilar utama dalam pembangunan ekonomi yang adil dan berkelanjutan. Namun, realitasnya hari ini, kepentingan konsumen sering kali tersisih di tengah gegap gempita pertumbuhan investasi dan penciptaan ekosistem usaha yang kompetitif. Fenomena ini terasa makin tajam ketika kebijakan-kebijakan global seperti kenaikan tarif impor dari Presiden Amerika Serikat ikut mengguncang perekonomian lokal dan berdampak langsung pada konsumen di tanah air.

Di tengah pusaran tantangan tersebut, Jawa Barat muncul sebagai oase harapan. Provinsi ini secara konsisten menyandang predikat sebagai provinsi terbaik dalam hal kepedulian terhadap perlindungan konsumen. Tidak hanya simbolik, tetapi juga terbukti dalam berbagai aspek implementasi kebijakan, termasuk keberlanjutan operasional Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) di berbagai kota dan kabupaten, serta dukungan terhadap Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM).

Namun, di balik capaian tersebut, tersimpan realitas pahit yang harus dihadapi oleh para pegiat perlindungan konsumen. Pasca diberlakukannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, kewenangan pembinaan perlindungan konsumen yang semula berada di tingkat kabupaten/kota berpindah ke provinsi. Perubahan ini menyisakan kekosongan dalam praktiknya, banyak daerah kehilangan semangat bahkan kemampuan untuk melanjutkan pendanaan dan operasional BPSK.

Akibatnya, banyak BPSK di daerah lain mati suri. Tanpa anggaran dari pemerintah kabupaten/kota dan dengan keterbatasan fiskal pemerintah provinsi, hanya Jawa Barat dan DKI Jakarta yang bertahan menjaga nyala perlindungan konsumen. Di luar dua provinsi tersebut, nasib konsumen seperti dibiarkan mengambang, tanpa pelindung yang memadai.

Ironisnya, di tingkat nasional, struktur formal perlindungan konsumen masih ada melalui Dirjen Perlindungan Konsumen dan Tata Niaga (PKTN) serta Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) di bawah Kementerian Perdagangan. Namun, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK 8/1999) yang menjadi landasan utama justru belum pernah diperbarui sejak kelahirannya. Undang-undang ini, yang konon dibuat dalam kondisi tergesa-gesa demi memenuhi tekanan situasi saat itu, kini terlihat semakin tertinggal oleh zaman dan tertindih oleh undang-undang sektoral baru seperti Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan lainnya.

Padahal didalam penjelasannya, UUPK 8/1999 secara tegas menempatkan dirinya sebagai payung hukum bagi seluruh regulasi sektoral yang ada maupun yang akan datang. Namun dalam praktik, posisinya semakin melemah, seringkali tak dianggap. Tanpa revisi dan penguatan, keberadaan undang-undang ini akan semakin tidak relevan menghadapi kompleksitas persoalan konsumen di era global.

Jawa Barat menjadi satu-satunya provinsi yang masih berani mempertahankan marwah perlindungan konsumen. BPSK di Jawa Barat masih aktif menangani pengaduan dan menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha. Namun tantangan tetap ada. Efisiensi anggaran yang diterapkan secara nasional termasuk dalam pelaksanaan Inpres No. 1 Tahun 2025 telah memengaruhi kinerja BPSK. Honorarium anggota BPSK dan sekretariat yang semestinya tidak termasuk dalam efisiensi, justru konon katanya ikut terkena pemotongan. Padahal 90% anggaran BPSK memang dialokasikan untuk honorarium. Hal ini kalau memang benar-benar terjadi tentu akan menyulitkan kelangsungan kerja dan semangat para anggota BPSK.

Kondisi ini mengulang luka lama saat pandemi Covid-19, di mana honorarium pun sempat dipotong hingga 50%. Namun saat itu, publik masih bisa menerima karena situasinya darurat. Kini, di masa pemulihan ekonomi, seharusnya anggaran untuk sektor strategis seperti perlindungan konsumen justru diperkuat, bukan dikorbankan.

Hari ini BPSK di Jawa Barat yang berjumlah 17 BPSK sedang berharap-harap cemas menunggu penanda-tanganan NPHD yang Anggarannya sedang dikaji TAPD.

Pemerintah, baik pusat maupun daerah, harus sadar bahwa konsumen yang cerdas adalah fondasi dari perekonomian yang sehat. Jika negara terus abai terhadap perlindungan konsumen, maka kredibilitas pasar akan merosot, kepercayaan publik runtuh, dan dampak jangka panjangnya adalah melemahnya daya saing nasional.

Kami, para penggiat perlindungan konsumen, menyerukan:

  1. Segera revisi dan perkuat UUPK 8/1999 agar mampu menjawab tantangan zaman dan berperan nyata dalam regulasi sektoral.
  2. Perkuat kelembagaan BPSK di seluruh Indonesia dengan jaminan anggaran yang memadai dari pemerintah daerah dan pusat.
  3. Berdayakan LPKSM secara nyata agar menjadi mitra strategis negara dalam mendidik, membela, dan memberdayakan konsumen.
  4. Tanamkan kesadaran bahwa konsumen bukan sekadar objek pasar, tapi subjek penting dalam ekonomi nasional.

Karena hanya dengan konsumen yang terlindungi dan pelaku usaha yang jujur, maka kita bisa membangun pasar yang adil, berdaya saing, dan berkelanjutan. Dan dari tanah Pasundan, semoga kobaran semangat ini bisa menular ke seluruh penjuru negeri.