Media Sosial : Mesin Cepat Penyebar Hoaks
Sumedang. eltaranews.com – Menurut Kominfo, media sosial merupakan medium paling subur dalam penyebaran hoaks, terutama pada momen politik krusial seperti pemilu. Algoritma platform digital yang dirancang untuk memaksimalkan keterlibatan justru memperburuk situasi.
Konten provokatif, emosional, dan kontroversial cenderung lebih cepat viral. Kondisi ini dieksploitasi oleh aktor tertentu individu, kelompok kepentingan, bahkan entitas politik untuk menyebarkan narasi yang memecah belah, membangun sentimen negatif terhadap lawan, atau sekadar menciptakan keresahan publik.
Pemerintah melalui Kominfo telah melakukan pemblokiran konten dan penegakan hukum dengan UU ITE. Namun, kecepatan dan volume arus informasi membuat tantangan ini jauh lebih kompleks dari sekadar sekat digital.
Podcast : Ruang Gema yang Semu
Fenomena lain yang menonjol adalah menjamurnya podcast politik yang digawangi mantan pejabat, politisi gagal, atau individu kecewa terhadap sistem. Dengan dalih “memberikan perspektif alternatif”, podcast semacam ini sering kali menyajikan narasi negatif yang subjektif dan tidak berimbang.
Risikonya, pendengar terjebak dalam “ruang gema” (echo chamber)—hanya mendengar perspektif yang sejalan dengan keyakinan mereka tanpa ruang kritik atau pandangan berbeda (republika.co.id). Akibatnya, batas antara kritik konstruktif dan serangan personal semakin kabur, hingga opini publik terbentuk di atas informasi yang tidak utuh, bahkan menyesatkan.
Televisi : Antara Jurnalisme dan Rating
Sebagai media arus utama, televisi memiliki tanggung jawab besar membentuk wacana publik. Namun, tekanan komersial membuat industri TV sering mengedepankan rating ketimbang kualitas.
Yang mengkhawatirkan, sejumlah stasiun televisi masih “memelihara” narasumber ekstrem yang berulang kali diundang karena mampu memancing kontroversi. Pandangan ekstrem dan tuduhan tak berdasar yang mereka lontarkan sering kali diabaikan, asalkan mampu mendongkrak jumlah penonton.
Dampak Menyeluruh : Polarisasi dan Krisis Kebenaran
Kombinasi dari praktik media sosial, podcast partisan, dan televisi yang mengejar rating menciptakan ekosistem informasi yang toksik. Dampaknya sangat serius:
- Krisis kepercayaan: Publik makin sulit percaya pada media maupun institusi negara, termasuk pemerintah dan lembaga hukum.
- Kebingungan massal: Informasi yang saling bertentangan membuat masyarakat bingung membedakan fakta dari fiksi. Banyak yang akhirnya bersikap apatis terhadap kebenaran.
Jalan Keluar : Literasi dan Tanggung Jawab Kolektif
Menghadapi gelombang disinformasi ini, solusi tidak bisa hanya datang dari satu pihak. Pemerintah perlu memperkuat regulasi tanpa mengekang kebebasan berekspresi. Platform digital harus lebih transparan dan bertanggung jawab dalam mengelola algoritma.
Namun, peran paling penting ada di tangan masyarakat. Meningkatkan literasi digital, berpikir kritis, serta membiasakan diri untuk memeriksa sumber sebelum membagikan informasi adalah langkah krusial. Dukungan terhadap media yang berintegritas juga menjadi kunci menjaga ekosistem informasi tetap sehat.
Hanya dengan kesadaran kolektif, ruang publik bisa kembali jernih dari kabut hoaks dan narasi kebencian.