Tekan Kasus Pelanggaran Hak Konsumen di Era Digital, CIPS Usul Revisi UU PK

Terkini

JAKARTA – Pesatnya perkembangan teknologi digital memberikan pengaruh positif dan negatif. Transformasi digital yang membawa perubahan pada pelbagai aspek kehidupan masyarakat, terutama di sektor ekonomi, dinilai membawa bahaya dan risiko.

Oleh karena itu, Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menegaskan perlunya payung hukum untuk melindungi pengguna teknologi digital.

“Perlindungan ini tidak semata mencakup perlindungan konsumen dalam sebuah lanskap ekonomi digital, namun juga perlindungan kebebasan sipil dalam sistem demokrasi yang membalut perekonomian tersebut,” ujar peneliti CIPS Pingkan Audrine Kosijungan, Senin (25/7/2022).

Selain literasi digital, untuk mendukung optimalisasi perkembangan digitalisasi yang pesat dalam usaha menciptakan sebuah ekonomi digital yang aman dan inklusif, masyarakat juga perlu memiliki pengetahuan memadai mengenai kebebasan sipil dan keadilan.

“Baik pelaku usaha, regulator maupun konsumen dalam transaksi digital harus tahu mengenai peran, hak dan kewajiban mereka masing masing dan juga bagaimana menyikapi kasus pelanggaran hak konsumen di era digital,” terang Pingkan.

Kemudian, dibutuhkan juga kebijakan serta mekanisme penyelenggaraan dan proses hukum yang jelas dalam menciptakan ekosistem ekonomi digital terintegrasi berdasarkan prinsip hak asasi manusia.

Berbicara mengenai penyelenggaraan tata kelola platform digital tak bisa lepas dari permasalahan perlindungan data dan hak konsumen maupun regulasi model bisnis terkait sengketa daring.

Dalam hal ini, menurut Pingkan, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU PK) perlu direvisi atau diamandemen karena belum menyesuaikan diri dengan perubahan, tantangan dan risiko yang timbul dari transformasi digital yang berjalan pesat ini.

“Berdasarkan penelitian CIPS, meskipun UU PK secara umum telah menjabarkan hak-hak konsumen, UU ini masih belum mengakomodasi hak-hak konsumen dalam transaksi digital sebab beberapa ketentuan terkait transaksi digital belum dibahas secara memadai. Revisi dibutuhkan untuk menjawab berbagai perkembangan dalam transformasi digital,” tandasnya.

CIPS meyakini proses transformasi digital untuk menciptakan masyarakat Indonesia yang lebih sejahtera, membutuhkan partisipasi dari berbagai pihak baik pemerintah maupun non pemerintah, terutama dalam pembuatan kebijakan, agar kebijakan yang ada dapat menjawab kebutuhan masyarakat dan tidak menimbulkan resistensi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *