Penjahat emang selalu banyak akal. Bagi mereka, kecanggihan teknologi bukan halangan, sebaliknya malah mereka gunakan untuk mwlakukan aksi kejahatan. Berikut ini adalah kisah yang saat ini sedang saya tangani sebagai anggota Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Kota Bandung.
Awal kisah bermula ketika seorang menggunakan jasa ekspedisi untuk mengirim barang senilai Rp 20.000.000,-(duapuluh juta rupiah) dari bandung ke kota lain di Jawa Timur.Barang tersebut awalnya diiklankan di sebuah situs jual beli online. Setelah melakukan chatting antara penjual dan calon pembeli, disepakati agar barang dibayar cash setelah sampai di alamat calon pembeli.Atas rekomendasi calon pembeli, penjual mengirim barang melalui jasa kurir yang direkomendasi oleh calon pembeli. Namun untuk berjaga-jaga dari kemungkinan ingkarnya calon pembeli, penjual tidak mengirim ke alamat pembeli langsung, melainkan ke alamt temannya yang beralamat di kota yang sama dengan calon pembeli. Si teman penjual ini katakanlah bertindak sebagai mediator.Tanpa prasangka, atas permintaan calon pembeli, penjual mengirimkan resi (bukti pengeriman) melalui jasa kurir tersebut kepada calon pembeli. Selanjutnya, penjual memonitor alur pengiriman barang tersebut melalui aplikasi setiap harinya.Akan tetapi pada saat di aplikasi termonitor bahwa barang telah sampai ke alamat tujuan, ternyata ketika dikonfirmasi ke teman penjual, barang belum diterima. Kemudian teman si penjual mengkonfirmasi ke kantor jasa kurir tersebut. Alangkah terkejutnya teman si penjual maupun si penjual ketika diberitahu bahwa barang telah diambil oleh seseorang yang identitasnya sama dengan identitas teman si penjual.Setelah dicek copy KTP yang ditinggalkan oleh si pengambil barang ternyata bahwa sipengambil barang ke kantor jasa kurir tersebut mwnggunakan KTP palsu dengan nama teman penjual, namun foto yang tertera di KTP tersebut mirip dengan foto calon pembeli (pemesan barang).Di sisi lain, berdasarkan hasil tracking perjalanan pengiriman barang terekam bahwa barang diantar ke alamat tujuan dan telah sampai. Pada kenyataannya brang tersebut bukan diantar ke alamat tujuan melainkan dijemput atauditebus oleh seseorang di kantor jasa kurir.Ketika teman si penjual mengkonfirmasi ke kantor jasa kurir di kota tujuan, pihak kasa kurir justru menuduh si pengirim barang yang sekaligus penjual tadi telah bersekongkol dwngan pihak yangwnwbus barang. Sementara di sisi lain, pimpinan kantor cabang jasa kurir di kota asal pengiriman barang menerangkan bahwa petugas jasa kurir di kota tujuan telah menyalahi SOP (standard operasional prosedure).Atas dasar bahwa hak-haknya sebagai konsumen jasa pengiriman barang telah diabaikan maka si penjual yang menggunakan jasa kurir tersebut mengadukan sengketa konsumen tersebut ke Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Kota Bandung dan hingga saat ini sedang diproses.Dari kisah tersebut diatas ternyata bahwa jual beli online telah dimanfaatkan oleh orang yang berpura-pura menaruh minat atas barang yang ditawarkan. Sedangkan untuk bukti keseriusan danl tanpa prasangka pihak penjual mengirimkan bukti foto resi pengiriman barang. Keadaan inilah yang dimanfaatkan oleh orang yang berpura-pura menjadi calon pembeli, dimana ia bisa mentracking alur pengiriman barang dan pada waktu yang twpat datang menjemput barang di kantor jasa kurir tersebut.Keadaan menjadi rumit ketika mau lapor ke kantor polisi. Kantor polisi di tempat aaal pengiriman menolak laporan dengan dalih kejadian dugaan pidana terjadi di kota tujuan pengiriman barang. Sedangkan ketika an si penjual mencoba melapor ke kepolisian di tempat tujuan barang, kepolisian berdalih bahwa yang bersangkutan bukan orang yang dirugikan. Makin rumit deh upaya perlindungan hak si penjual.Hikmah dari kejadian ini adalah, dalam kasus dimana barang akan dibayar setelh barang tiba atau diterima (cash on delivery) maka janganlah sekali2 mengirimkan atau mwmberitahukan resi pengiriman barang kepada calon pembeli.Demikian sekilas info.*****